KEBEBASAN yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia mendapatkan tempatnya juga ketika kita hendak memilih pemimpin. Tetapi, seperti dipahami bahwa kebebasan kita adalah kebebasan dalam ketergantungan kepada tuntunan Tuhan kita, maka kebebasan memilih pemimpin pun demikian. Kita bebas bertindak, melakukan perbuatan memilih tetapi dalam kebebasan itu, kita melakukannya dalam kehendak dan kemuliaan Tuhan.Kebebasan yang dilaksanakan tanpa adanya hubungan dengan Tuhan, jelas bukan kebebasan Kristiani. Hal ini diperagakan dengan baik dan demokratis dalam Kisah Para Rasul 1:15-26, ketika murid-murid / rasul-rasul bersama umat Tuhan lainnya hendak memilih murid pengganti Yudas. Secara demokratis dengan diusulkan / dicalonkan dari bawah (bottom up), “Pemilu” versi para rasul dan umat Tuhan waktu itu (dengan metode mengundi) melalui tahapan sebagaimana tertulis: Lalu mereka mengusulkan dua orang: Yusuf yang disebut Barsabas dan yang juga bernama Yustus dan Matias. Mereka semua berdoa dan berkata: “Ya Tuhan , Engkaulah yang mengenal hati semua orang, tunjukkanlah kiranya siapa yang Engkau pilih dari kedua orang ini.....” (Bdk Kis 1:23-24). Dengan demikian orang Kristen meyakini dalam pemilihan pemimpin, bukan kita yang memilih tetapi Tuhanlah yang memilih. Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu (Yoh 15:16a). Dengan pemahaman yang seperti ini, maka berdoa adalah tahapan penting dalam Pemilu bagi orang Kristen. Berdoa dan mendoakan. “.....dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, ......” (Bdk Filipi 1:9 & 10). Pilihan yang terbaik bukan pada pilihan itu sendiri tetapi terletak pada kuasa doa. Kita hanyalah alat Tuhan untuk menyatakan kuasa (pilihan) Tuhan. Tantangan muncul dalam ranah praksis di lapangan. Secara pribadi kita bebas dalam memilih termasuk keterikatan kebebasan orang Kristen menghadapi arus tantangan zaman yang demikian kuat. Praksis politik dalam arena Pemilukada tanpa disadari telah menggerogoti kebebasan yang kita miliki. Tanpa sadar, kebebasan kita bukan lahir dari nurani tapi lebih dipengaruhi oleh strategi politik para kandidat dan Tim Sukses / Tim Kampanye yang terkadang menghalalkan segala cara. Kebebasan kristiani yang harusnya terikat dengan ketentuan moral Kristiani atau kehendak Ilahi melepas ikatannya dan berganti mengikatkan diri pada ilah zaman berwujud uang, sembako dan bentuk bantuan lainnya. Politik kita sekarang ini mengandalkan kekuatan finansial. Berita-berita di koran lokal, sering menyebut calon tertentu siapkan sekian milyar. Fakta-fakta Pemilukada di beberapa tempat mengindikasikan aksi bagi-bagi sembako, uang dan bujukan materi lainnya, halmana ternyata masih sulit dicegah bahkan disentuh dengan piranti hukum kita yang kurang tegas ditambah lagi kelihaian para aktor politik membungkus rapih “bingkisan money politics”. Tanpa sadar konstituen (pemilih) sedang diperbudak oleh ilah zaman, ilah materialisme. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus maka kita sedang melakukan pembiaran terhadap arus kapitalisasi demokrasi politik. Sehingga, akan terformat bahwa yang bisa menjadi gubernur atau wakil gebernur haruslah orang yang memiliki kapital / modal, bukan terutama mereka yang memiliki integritas moral dan kecakapan memimpin. Lebih daripada itu, kita sedang membiarkan nurani manusia yang tak ternilai menjadi seharga 5kg beras atau seharga Rp. 50.000,- Rp. 250.000. Pun, jika kita membiarkan aksi money politics terjadi, itu berarti kita telah turut mengantarkan pemimpin kita ke jurang korupsi dan tanpa sadar kita telah sedang menggiring mereka kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Yah, karena modal yang mereka keluarkan pasti akan berusaha mereka dapatkan kembali bahkan lebih daripada itu, mereka harus mendapatkan untung dari jabatannya. Untuk hal ini, kita telah melihat buah-buahnya. Kita menjadi seperti orang Israel yang sementara dituntun keluar dari tanah perbudakan mesir tapi justru merindukan untuk kembali ke Mesir. Kita menjadi umat yang telah dibebaskan tetapi masih mau mengenakan kuk perhambaan – menjadi hamba manusia. Kita menjadi orang bebas yangmenggunakan kebebasan kita untuk berbuat dosa. Kita yang telah menjadi milik Tuhan yang diberi harta kebebasan namun menyalahgunakan kebebasan itu ! Kita yang telah lunas dibayar oleh pengorbanan Tuhan dan otomatis menjadi miliknya rela menjual kebebasan itu.....Kita akhirnya menjadi tak berdaya ketika melihat pemimpin kita yang terpilih karena membeli suara kita tak bisa berbuat banyak untuk kesejahteraan kita dan rakyat umumnya, selain berbuat banyak untuk mengumpul pundi-pundi pribadi dan kelompoknya.Maukah kita terus terhanyut dalam situasi ini Perkara yang pertama dan utama yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin bagi mendapatkan kekuatan diri dalam memimpin ialah HATI YANG BERSIH. Seorang pemimpin harus memberikan dirinya bagi yang dipimpinnya, di zaman nan modern ini banyak pemimpin kita yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan kelompoknya atau team suksesnya yang tadinya berjuang memuluskan langkahnya. Maka para pemimpin perlu diingatkan “Hai tuan-tuan berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah kamu juga mempunyai tujuan di surge” (Bdk Kol 4:1) Kita memilih pemimpin yang memiliki komitmen dan integritas pribadi yang tangguh dan tinggi serta memiliki kepedulian terhadap orang yang dipimpinnya. Semoga kita tidak salah dalam memilih pemimpin.. ”Pemimpin yang baik adalah dia yang lebih dulu lapar pada saat kekurangan makanan, dan dia yang paling terakhir kenyang pada saat tersedia makanan”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments: