Filed under: by: GreenGrass

Kamis Putih dan Potret Pemimpin Sejati

Hari ini, Kamis 13 April, umat Katolik di seluruh dunia merayakan Kamis Putih, sebuah upacara untuk mengenang Perjamuan Terakhir Yesus Kristus bersama kedua belas murid-Nya. Kamis Putih menjadi momen penting dalam rangkaian Trihari Suci yang dikenang umat Kristiani setiap tahun.

Salah satu hal yang istimewa dari upacara Kamis Putih adalah acara pembasuhan kaki. Upacara ini bermaksud mengenang kembali bagaimana dahulu Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Dalam Misa Kamis Putih hal ini akan dilakukan lagi, di mana imam yang memimpin Misa membasuh kaki 12 rasul yang dipilih dari kalangan umat awam.

Peristiwa ini mengesankan dan menginspirasi karena yang dirayakan adalah sebuah momen dimana Yesus yang adalah Anak Allah mau “dengan rela, atas kehendak sendiri” memilih membasuh kaki murid-Nya.

Lewat peristiwa itu Yesus mau membongkar dan mengoreksi kebiasan lama dalam tradisi Yahudi, dimana Guru atau pemimpinlah yang selalu dilayani oleh para murid. Dan, dalam kacamata para rasul saat itu, adalah sebuah hal baru bahwa Yesus yang mereka anggap sebagai Guru itu mau membasuh kaki mereka.

Apa yang dilakukan Yesus menjadi kritikan sekaligus mengubah cara pandang para murid tentang “bagaimana seharusnya menjadi pemimpin”. Atau dalam rumusan lain, tindakan Yesus mengajarkan sebuah keutamaan yang mestinya ada dalam diri seorang pemimpin, yakni pemimpin yang mau membasuh kaki mereka yang dilayani, pemimpin yang tidak pasif hanya mau dilayani, tetapi pemimpin yang aktif, yang memilih untuk melayani.

Menjadi pemimpin yang melayani tentu menjadi harapan kita semua. Dan kiranya, model pemimpin sejati yang sudah ditunjukkan oleh Yesus, tidak hanya menjadi cita-cita khas Kristiani, tetapi juga menjadi sesuatu yang universal. Itu artinya, gaya kepemimpinan seperti yang ditampilkan olehYesus juga dikehendaki dan menjadi cita-cita semua orang dari berbagai latar belakang.
Mengamati pemimpin-pemimpin kita di Indonesia saat ini, apakah keutamanan sebagai pemimpin yang melayani, sebagaimana ditunjukkan Yesus, sungguh-sungguh telah hidup?

Bukan tanpa dasar, bila kita menganggap pemimpin kita masih belum sepenuhnya seperti itu. Pemimpin-pemimpin kita masih belum menganggap jabatan sebagai mandat untuk melayani, mengabdi kepada kepentingan publik. Jabatan masih dilihat sebagai semata-mata kesempatan untuk berkuasa dan menebar pengaruh.

Tentu, jabatan selalu menyangkut kesempatan untuk mengusai. Semua pemimpin sudah seharusnya jujur mengakui bahwa motivasi mereka meraih kursi jabatan, entah Presiden, Bupati, DPR, bahkan pemimpin Agama sekalipun tak bisa lepas dari intensi will to power atau kehendak untuk berkuasa.

Kekuasaan itu sendiri tak salah. Tapi ia bisa berakibat fatal bila aktornya memanfaatkan kekuasaan itu secara keliru, bila kekuasaan diarahkan bukan pada upaya pencapaian kebaikan bersama, tetapi hanya pada kepentingan terbatas individu atau kelompok.

Yang terjadi di Indonesia, kekuasaan itu belum sepenuhnya diabdikan pada kepentingan semua. Gaya pemimpin kita masih dikuasai oleh hasrat atau naluri untuk mempertahankan kekuasaan itu dan memuaskan kepentingan partai, massa atau kelompok yang mendukung, meski dengan itu, prinsip mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak tidak ditaati.

Peristiwa hari ini yang dirayakan oleh umat Kristiani mengandung intensi memuliakan gaya kepemimpinan yang melayani, sebagaimana ditunjukkan Yesus.

Bisahkah hal ini dihidupkan di Indonesia kita? Untuk mencapai hal itu, butuh reformasi pemahaman kita tentang pemimpin. Bahwa pemimpin tidak hanya bertugas menduduki kursi jabatan dan menikmati kenyamanan fasilitas. Memimpin berarti memangku jabatan. Dan itu berarti, di situ ada tuntutan untuk bertanggung jawab kepada publik yang telah memberi kita kesempatan untuk berkuasa.

Pemimpin yang menyalahgunakan kesempatan untuk berkuasa adalah pemimpin yang mestinya sudah memilih melepaskan kuasa itu. Karena apalah gunanya berkuasa bila kesempatan untuk berkuasa itu gagal dimanfaatkan sepenuhnya untuk mengabdi pada publik.

Memimpin selalu berarti mengabdi. Bila kesadaran seperti ini hilang, maka kita akan selalu berada ditepi kehancuran tujuan mencapai cita-cita kehidupan bersama. Dan juga kita sedang berkubang terus dalam kebiasaan salah, mengkhianati hakikat dasar pemimpin yang sejati, yang telah diteladani oleh Yesus Kristus.

Untuk menjadi pelayan Tuhan yang baik, ada beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi. Banyak hamba Tuhan di dalam melayani sebenarnya berpotensi, namun karena mereka tidak mengetahui dan memiliki kualifikasi dalam dirinya, merek banyak mengalami kegagalan dalam pelayanannya. Dalam bacaan Mat. 28: 19-20 ini, saya melihat bahwa dalam menunjang dan meningkatkan pelayanan ada beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi. Kualifikasi itu dibagi menjadi dua: 1) Kualifikasi Kejiwaan; 2) Kualifikasi Rohani


I. KUALIFIKASI KEJIWAAN

1)      Penyesuaian Diri

Dalam I Kor. 9: 20, Paulus berkata, “Demikianlah bagi orang Yahudi, aku jadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat, aku menjadi seperti orang yang hidup dalam hukum Taurat sekalipun, aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat.” Kalau diartikan secara luas, itu berarti bahwa melayani ke Kalimantan kita menjadi seperti orang Kalimantan, melayani di Sunda kita menjadi seperti orang Sunda. Kita makan makanan mereka. Kita belajar berpikir dengan cara berpikir mereka. Kita belajar menghayati perasaan mereka. Dan itu pun juga dengan tingkat sosialnya berbeda dengan kita. Terhadap orang miskin bisa menyesuaikan diri, begitu juga dengan orang kaya.

2) Stabilitas Emosi

Seorang pelayanan Tuhan harus stabil emosinya. Tidak mudah terpengaruh orang lain, tidak gampang marah, tidak gampang tersinggung. Kita tahu bahwa pelayanan tidak hanya membutuhkan tenaga, tetapi justru banyak membutuhkan pemikiran dan perasaan. Mungkin kita mendapat jawaban yang menyinggung perasaan. Kalau emosi kita tidak stabil, kita akan tersinggung dan marah sehingga kata-kata kita menjadi keras dan kasar, akhirnya perdebatan seru dan berlanjut dengan pertengkaran sehingga kita gagal dalam tugas pelayanan.

3) Bekerjasama dengan orang lain

Paulus menekankan dalam Flp. 2: 3/b-4 “……..hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri, dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tapi kepentingan orang lain juga.” Kalau kita tidak bisa menerima orang lain akan timbul percekcokan. Orang mengemukakan ide, kita meremehkan dan berakta, itu tidak cocok dengan saya.

4) Taat dan Menurut Perintah

Bagaimana mungkin kita bisa menurut Allah yang tidak kelihatan, bila kita bisa menurut perintah manusia yang kelihatan. Kita harus belajar menaati setiap perintah yang diberikan kepada kita juga dari seorang mudapun. Hal ini Tuhan tekankan kepada Musa.

Ketika Tuhan mengutus Musa ke Mesir untuk membebaskan bangsa Israil, Musa menolak dan berkata, “Tuhan, aku tidak pandai berkata-kata”. Sebenarnya bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah bahwa Musa tidak mau menurut. Karena itu Tuhan berkata, “Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta. Bukankah Aku, yaitu Tuhan? Oleh sebab itu pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang sudah harus kau katakan”. (Kel. 4: 11-12).

Kita seringkali bersikap seperti Musa senang berdalih-dalih dengan Tuhan untuk menolak pelayanan. Ah, aku tiada pandai khotbah, tidak bisa menyanyi, tidak bisa pimpin puji-pujian. Namun sebenarnya Tuhan bisa memakai siapa saja baik pandai ataupun bodoh. Alkitab berkata bahwa Allah memakai orang yang bodoh untuk mempermalukan yang pintar. Orang yang mana? Jadi kita dipakai bukan karena kemampuan kita, tapi karena kemauan. Kemauan merupakan modal utama di mata Allah dan itulah yang berhasil.

5) Rela Berkorban

Tanpa pengorbanan, pekerjaan Tuhan tidak berjalan dengan baik. Yesus sudah memberikan teladan bagi kita. Dia datang bukan untuk dilayani tapi untuk melayani. Dia mau mengorbankan segala-segalanya, kemuliaannya, hidupnya untuk kebahagiaan kita. Itulah sebabnya Allah mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama.

 

Kalau kita mempelajari kisah pelayanan Paulus kita akan melihat 3 hal yang dia korbankan untuk Tuhan.
a. Air mata (Kis. 20: 19)

Paulus banyak mencucurkan air mata dalam pelayanannya karena terdorong oleh kasih dan kerinduannya yang besar untuk menyelamatkan orang-orang yang dilayaninya. Namun banyak di antara kita yang mau melayani kalau ada rangsangan. Kalau jemaatnya banyak, kalau persembahannya besar, kalau kecil nanti dulu.

b. Keringat

Ini merupakan kerja keras Paulus. Bekerja jauh lebih keras dibandingkan rasul-rasul lainnya karena ia merasa bahwa dirinya dahulu adalah seorang yang paling berdosa. Sekarang ia membalas kasih Tuhan dengan sesuatu yang ia miliki.

c. Darah

Seorang pelayan yang ingin sukses tidak bisa lepas dari pengorbanan. Yesus menyatakan itu dalam Luk. 14: 26-27, “Barang siapa tak memikul salibnya dan mengikat aku, ia tidak dapat menjadi muridku”.

 

II. KUALIFIKASI ROHANI

Ada beberapa kualifikasi yang harus kita penuhi supaya pelayanan kita berhasil

1) Pengalaman pertobatan yang murni

Kata “murni” karena ada pertobatan yang tidak murni. Pertobatan murni adalah pertobatan sida-sida dari tanah Etiopia dalam Kis. 9. Setelah Filipus memberitakan Injil kepadanya, ia percaya dengan segenap hati, lalu sida-sida itu berkata, “Lihat di situ ada air, apakah halangannya jika aku dibaptis?” Sida-sida itu tak memperhitungkan bahwa dirinya nanti akan basah kuyub dan mungkin akan ditertawakan orang di sepanjang perjalanan. Dia sadar bahwa pengorbanannya itu tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan keselamatan yang dia peroleh di dalam Tuhan.

2)      Pengetahuan Alkitab

Seorang pelayan Tuhan harus membaca Alkitab berulang-ulang. Kalau kita penuh dengan firman Allah, maka kita akan bicara tentang firman Allah. Kalau hati kita kosong, maka hati kita akan omong kosong. Firman Allah bagaikan air segar yang menyejukkan banyak orang percaya bahkan pendeta-pendeta yang terbangnya kecil dalam membaca firman Tuhan. Sebab itu, kita harus mempelajari Alkitab dengan rajin dan persiapan-persiapan yang perlu. Jangan kita cerita tentang Elia tapi yang keluar tentang Elisa. Kalau tidak teliti jemaat akan protes.



3)      Keyakinan akan pimpinan dan pernyataan Tuhan dalam pelayanan

Kalau tidak yakin akan penyertaan Tuhan dalam pelayanan, kita akan grogi dan kalau grogi efeknya besar. Alasan grogi ada bermacam-macam, tapi salah satunya adalah karena kurang persiapan atau kurang yakin akan penyertaan Tuhan. Kita harus yakin dan mantab bahwa Tuhan menyertai kita.

Jika semua kualifikasi ini kita miliki, maka Tuhan yang empunya pelayanan akan memakai kita dengan heran.

Sumber : Ryan Dagur

0 comments:

Grab this Widget ~ Blogger Accessories