"Jauhkanlah dari
padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau
kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku". (Amsal 30:8)
Seekor anjing berlari-lari
membawa tulang dari tong sampah. Ketika melewati jembatan, ia menunduk dan
melihat bayangan dirinya terpantul dari air sungai. Ia mengira, ada anjing lain
membawa tulang yang lebih besar dari miliknya. Tanpa berpikir panjang, ia
menjatuhkan tulang yang dibawanya dan langsung melompat ke air. Anjing itu
akhirnya harus bersusah payah berenang ke tepian. Akhirnya, ia hanya bisa
berdiri termenung dan sedih karena tulang yang dibawanya tadi sudah hilang.
Dongeng itu menggambarkan sikap
tidak berpuas diri yang berkembang menjadi keserakahan. Agur bin Yake belajar
untuk menghindarinya. Ia memohon dua hal pada Tuhan (ay. 7). Pertama, agar
Tuhan menjauhkannya dari kecurangan dan kebohongan. Kedua, agar Tuhan tidak
memberinya kemiskinan atau kekayaan. Intinya, ia memohon agar Tuhan memberikan
apa yang memang menjadi bagiannya (ay. 8). Permohonan Agur menunjukkan
kepercayaannya: bahwa Tuhan sudah menyiapkan berkat khusus baginya.
Menyadari bahwa kita memiliki
bagian kita sendiri akan menghindarkan kita dari keserakahan atau mengingini
milik orang lain. Keserakahan berpotensi membuat kita kehilangan
kebaikan-kebaikan yang kita miliki. Jiwa kita akan dirundung oleh kekecewaan
dan kekhawatiran. Karena itu, baiklah kita belajar bersyukur atas bagian khusus
itu. Dalam pemeliharaan-Nya, kita tidak akan mengalami kekurangan. Dalam
penjagaan-Nya, kita akan mengalami kepuasan dan kecukupan yang sesungguhnya.
KESERAKAHAN MENDATANGKAN
KEKURANGAN;RASA SYUKUR MEMBUAHKAN KECUKUPAN
"...Jangan berikan kepadaku
kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi
bagianku." (Amsal 30:8)
Apakah ada diantara anda yang
ingin terus hidup miskin, serba kekurangan sehingga sulit untuk bisa hidup
secara layak? Tentu saja tidak satupun dari kita ingin mengalami itu. Kita
bekerja dan berdoa agar Tuhan memberkati usaha kita agar kita bisa mencukupi
kebutuhan hidup kita dan keluarga. Tapi di sisi lain, gaya hidup penuh
kemewahan akan membuat kita menjadi hamba-hamba uang yang terus menerus
berusaha mengeruk keuntungan dengan menghalalkan segala cara. Seseorang yang
saya kenal dekat menceritakan bagaimana kemewahan sudah menjadi gaya hidup atau
lifestyle di kota-kota besar seperti ibu kota. Mereka tidak lagi merasa sayang
untuk mengeluarkan uang beberapa juta hanya untuk bersenang-senang, makan dan
sebagainya hanya dalam waktu kurang dari semalam tanpa berpikir perlu untuk
menolong saudara sesama manusia yang mungkin untuk sekedar makan sedikit saja
sudah sulit. Kalau sudah begini, kekayaan bisa membuat kita terjerumus menjadi
jauh dengan Sang Pemberinya sendiri. Itu jelas berbahaya. Dan Yesus sendiri
sudah mengingatkan: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi
kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti
nyawanya?" (Matius 16:26).
Apakah itu artinya kita tidak
boleh untuk menjadi kaya? Tentu saja bukan begitu, karena Tuhan sendiri
menjanjikan kita sebuah kehidupan yang berkelimpahan. Tetapi yang terbaik
adalah, ketika kita mendapat kesempatan untuk meperoleh harta, seharusnya itu
hadir ketika kita sudah benar-benar siap untuk menerimanya. Arti siap disini
adalah sudah mengetahui terlebih dahulu dengan benar untuk apa sebenarnya Tuhan
memberkati kita dan untuk apa semuanya itu seharusnya dipakai, lalu siap untuk
melakukan sesuai dengan kehendak Tuhan. Yesus berkata: "Karena siapa yang
mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang
tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya."
(Matius 13:12). Mempunyai apa? Dalam versi bahasa Inggris yang dimaksudkan
adalah "spiritual knowledge",
pengetahuan dan pemahaman yang benar akan maksud Tuhan. Inilah yang mampu
membuat kita tetap taat dan setia dalam kondisi apapun, termasuk ketika harta kekayaan
hadir dalam diri kita. Itu akan memampukan kita untuk tidak terjatuh dan
tersesat karena kemilau harta. Oleh karenanya kita perlu hikmat dari Tuhan agar
bisa tetap berada dalam jalan yang lurus dan tidak mudah disesatkan oleh
berbagai godaan duniawi yang bisa terasa begitu menggiurkan sehingga sulit
untuk ditolak.
Ada sebuah doa yang bagus
mengenai hal ini yang disebutkan dalam kitab Amsal. "Dua hal aku mohon
kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni: Jauhkanlah dari padaku
kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan.
Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku." (Amsal 30:7-8).
Mari kita fokus kepada hal kedua dalam doa ini yang bunyinya: "jangan
berikan kemiskinan dan kekayaan, tetapi berilah apa yang menjadi
bagianku." Apa maksudnya dan mengapa demikian? Alasannya disebutkan pada
ayat berikutnya, yaitu "Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu
dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan
mencemarkan nama Allahku." (ay 9). Sesungguhnya ini penting untuk dicermati.
Tentu Tuhanlah sebenarnya yang tahu sampai dimana kemampuan dan kapasitas kita
untuk menerima sesuatu. Jangan sampai kita menderita miskin lalu sulit untuk
menjadi pelaku-pelaku firman Tuhan, di sisi lain jangan sampai kekayaan membuat
hubungan kita malah rusak dengan Tuhan. Apa yang baik adalah sesuai dengan
takaran Tuhan, bukan takaran kita. Dia tahu apa yang kita butuhkan, Dia jauh
lebih mengenal diri kita, oleh karena itu yang terbaik adalah menyerahkan
keputusan ke dalam tangan Tuhan.
Alkitab pun banyak berbicara
mengenai hal ini dalam ayat-ayat lain. Lihatlah bagaimana doa yang diajarkan
Tuhan Yesus juga berisikan pesan yang sama. "Berikanlah kami pada hari ini
makanan kami yang secukupnya." (Matius 6:11). Secukupnya, itu bentuk permintaan
lewat doa yang terbaik seperti yang diajarkan Yesus sendiri. Lalu kita mungkin
bertanya, seberapa cukupkah 'secukupnya' itu? Bukankah masing-masing orang
mungkin memiliki standarnya sendiri? Tetapi Alkitab ternyata berkata seperti
ini: "Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah." (1 Timotius 6:8).
Makanan dan pakaian, itulah kebutuhan paling mendasar dalam hidup manusia,
sehingga seharusnya jika keduanya sudah terpenuhi, itu sudah cukup untuk bisa
mendatangkan rasa syukur. Jika tidak menyadari hal ini maka kita pun akan lupa
bersyukur dan akan terus hidup penuh dengan rasa tidak puas. Lalu yang terjadi
kemudian: "Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke
dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan,
yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan." (ay 9).
Kebinasaan, itu bisa menjadi ujung akhir ketika kita berorientasi kepada
kekayaan dan menghamba pada uang.
Karenanya, yang terbaik bagi kita
adalah membiarkan Tuhan yang menentukan seberapa banyak yang sebaiknya kita
terima. Tuhan bisa memberikan segalanya hingga berkelimpahan, namun sanggupkah
kita menerimanya tanpa kemudian menjadi rusak? Mampukah kita tetap bersyukur
dan mempergunakannya lebih lagi untuk memberkati sesama kita, atau malah membuat
kita menjadi tamak dan ingin terus mengejar lebih banyak lagi untuk kesenangan
kita sendiri? Kita harus belajar untuk bersyukur dalam segala keadaan. Terus
menerus merasa kurang akan membuat kita melupakan segalanya kecuali terus
mengejar harta. Kita akan lupa membangun hubungan dengan Tuhan, kita tidak akan
ingat lagi untuk bersyukur. Jika Alkitab sudah mengatakan bahwa makanan dan
pakaian itu sudah cukup, bukankah itu seharusnya sudah bisa membuat kita
bersyukur? Penyertaan Tuhan dalam hidup adalah jauh lebih penting. Dia selalu
mengetahui apa yang kita butuhkan, Dia sudah berjanji untuk mencukupi semuanya
itu, dan itu jauh lebih penting ketimbang hal lainnya. Itulah yang akan mampu
membuat kita selalu dipenuhi rasa syukur dan tidak membuat ibadah kita sia-sia
atau kehilangan makna.
Kehilangan makna? Mari lihat ayat
ini: "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan
besar." (1 Timotius 6:6). Biarlah Tuhan yang menentukan seberapa besar
kita layak terima, dengan besar yang cukup sesuai kapasitas kita dan tidak
sampai membuat kita lupa diri dan lupa kepadaNya. Tuhan tahu seberapa jauh kita
bisa dipercaya, dan hendaklah kita mengisi doa-doa kita seperti doa yang
diajarkan Tuhan Yesus dan juga doa dalam Amsal di atas. Biarlah Tuhan memberikan
tepat secukupnya bagi kita, sesuai takaran yang dianggap Tuhan paling tepat
bagi kita, untuk tetap bisa bersyukur dan memberkati sesama.
BUKAN MASALAH KAYA ATAU MISKIN
TETAPI YANG PALING TERPENTING YAITU PENYERTAAN TUHAN HARUS ADA DALAM SETIAP
KEHIDUPAN KITA.
0 comments: