
Dengan dasar ini, definisi klasik dari kebajikan adalah suatu kebiasaan atau suatu kecenderungan yang tetap dan teguh yang mencondongkan orang untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat. Dengan ciri tetap dan teguh, seorang yang berkebajikan tidak hanya berjuang untuk menjadi seorang yang baik, melainkan juga mencari apa yang baik dan memilih untuk bertindak dengan cara yang baik. Aristotle mendefinisikan kebajikan sebagai “sesuatu yang menjadikan orang maupun apa yang dilakukannya baik.”
Dr. Joseph Pieper, seorang teolog Thomist [= doktrin Thomas Aquinas] yang terkenal sekaligus seorang ahli mengenai kebajikan, memberikan penjelasan sebagai berikut: “Doktrin kebajikan … mengatakan mengenai orang ini; doktrin berbicara baik mengenai orang macam apa ketika ia masuk ke dalam dunia, sebagai konsekuensi dari penciptaannya, maupun orang macam apa yang harus ia upayakan dan capai - dengan menjadi bijaksana, adil, menguasai diri dan berani. Doktrin kebajikan merupakan satu bentuk doktrin wajib, tetapi orang, karena kodratnya, bebas dari tekanan dan paksaan (Empat Kebajikan Pokok).
Di satu pihak, seorang individu dapat belajar kebajikan-kebajikan manusiawi melalui upayanya sendiri di bawah bimbingan akal budi. Melalui pendidikan, melalui latihan untuk dengan sengaja memilih melakukan apa yang baik, dan melalui ketekunan dalam usaha, seorang beroleh dan bertambah dalam kebajikan.
Di lain pihak, dengan pertolongan rahmat ilahi, individu mendapatkan lebih banyak kekuatan dan kemudahan dalam mengamalkan kebajikan-kebajikan ini. Melalui kebajikan-kebajikan yang dimurnikan dan diangkat oleh rahmat ilahi ini, yang sekarang akan kita sebut sebagai kebajikan-kebajikan moral, orang memperoleh penguasaan diri atas kodratnya yang lemah akibat dosa asal. Singkat kata, kebajikan-kebajikan ini membantu membentuk karakter Kristiani dan memotivasi orang untuk menjadi serupa dengan Tuhan.
Ada empat kebajikan moral yang pokok, yang disebut kebajikan-kebajikan pokok [kardinal], yakni: kebijaksanaan, keadilan, keberanian dan penguasaan diri. Kata “kardinal” berasal dari kata Latin “cardo” yang artinya “poros”. Keempat kebajikan ini disebut “kardinal” sebab semua kebajikan lainnya dikategorikan di bawahnya dan bergantung padanya. Kitab Kebijaksaan dari Perjanjian Lama mengatakan, “Kebajikan adalah hasil jerih payah kebijaksanaan. Sebab ia mengajarkan menahan diri dan berhati-hati, keadilan dan keberanian; dari pada semuanya itu tidak ada sesuatu pun dalam kehidupan yang lebih berguna bagi manusia” (8:7).
KEBIJAKSANAAN, “ibu” dari segala kebajikan, adalah kebajikan dengan mana seorang menyadari kewajiban moralnya dan sarana-sarana baik untuk menunaikannya. Sesungguhnya, kebijaksanaan adalah bagian dari definisi kebajikan. Seorang hanya dapat bijaksana dan baik secara serentak. Tak ada kebajikan lain yang bertentangan dengan kebijaksanaan. Sebab itu, apa yang bijaksana pada pokoknya adalah apa yang baik, dan kebijaksanaan adalah pengukur keadilan, penguasaan diri dan keberanian.
Seorang yang bijaksana melihat realita kongret dari suatu situasi dengan pandangan obyektif yang jelas dan jujur; merujuk dan menerapkan kebenaran-kebenaran moral (misalnya Sepuluh Perintah Allah atau ajaran-ajaran Gereja); membuat penilaian moral; dan lalu memerintahkan suatu tindakan. Di samping itu, kebijaksanaan juga berusaha melakukan tindakan itu dengan suatu cara yang baik - melakukan apa yang baik dengan cara yang baik.
Jelas, kebijaksanaan amat penting bagi pembentukan dan kerja hati nurani seseorang. Untuk menjadi seorang yang bijaksana, orang harus mengenal kebenaran Tuhan, sama seperti untuk memiliki hati nurani yang baik, orang harus mengenal kebenaran Tuhan. Orang tidak dapat melakukan apa yang baik jika ia tidak mengetahui prinsip-prinsip kebenaran dan kebajikan.
Agar dapat menimbang suatu situasi dengan bijaksana dan kemudian menentukan tindakan, orang patut mencamkan dalam benaknya tiga aspek kebijaksanaan: memoria, docilitas dan solertia. Memoria sekedar berarti memiliki memori “true-to-being” yang meliputi hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang real sebagaimana mereka adanya dulu dan sekarang. Setiap orang patut belajar dari pengalaman-pengalamannya di masa lalu. Mengingat apa yang harus dilakukan atau dihindari dari pengalaman-pengalaman di masa lalu membantu kita waspada terhadap kesempatan dan penyebab dosa, menghindarkan kita dari melakukan lagi kesalahan yang sama dan mengilhami kita untuk melakukan apa yang baik. Berjaga-jagalah: penyesatan atau penyangkalan suatu ingatan merupakan penghalang besar dalam mengamalkan kebijaksanaan.
Docilitas berarti bahwa orang harus mempunyai kepatuhan, wawasan yang terbuka, yang memungkinkan orang mau menerima nasehat dan bimbingan orang lain. Orang hendaknya senantiasa mencari dan mengindahkan nasehat bijak dari mereka yang lebih tua, lebih berpengalaman dan lebih berpengetahuan.
Akhirnya, pengamalan kebijaksanaan menyangkut solertia, yang adalah ketajaman berpikir. Di sini orang mempunyai pandangan yang jelas mengenai situasi yang dihadapi, memprediksi tujuan dan konsekuensi dari suatu tindakan, menimbang situasi-situasi khusus yang tersangkut di dalamnya, dan mengatasi pencobaan ketidakadilan, pengecut, ataupun gegabah. Dengan solertia, orang bertindak dengan suatu cara yang tepat pada waktu yang tepat tetapi dengan permenungan dan pertimbangan yang perlu untuk menentukan apa yang baik dan bagaimana melakukan yang baik itu. Dengan suara hati yang terbentuk selaras dengan kebenaran Tuhan, dan dengan latihan memoria, docilitas, dan solertia yang tepat, seorang akan bertindak dengan bijaksana.
Lawan dari bijaksana meliputi sembrono (bertindak tanpa pikir panjang), tidak konsisten (cepat berubah-ubah pikiran), lalai dan kehilangan pandangan akan takdir adikodratinya, yakni kehidupan kekal. Mungkin, yang disebut terakhir ini yang paling lazim pada masa sekarang: terlalu banyak orang bertindak tanpa memikirkan penghakiman abadi dan tanpa mengarahkan pandangan ke surga. Orang yang bijaksana senantiasa mencari apa yang baik di hadapan Tuhan agar suatu hari kelak ia dapat digabungkan dalam kebajikan-Nya yang abadi di surga. Yesus bertanya, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Matius 16:26).
St Thomas Aquinas mendedinisikan KEADILAN sebagai “suatu kebiasaan di mana orang melakukan setiap kewajibannya dengan kemauan yang tetap dan terus-menerus.” Kewajiban pertama dalam keadilan adalah kewajiban terhadap Tuhan. Kita wajib berdoa, bersembah sujud, taat kepada Tuhan yang telah menunjukkan kasih yang begitu besar kepada masing-masing kita dan yang wajib kita kasihi melebihi segalanya. Dalam keadilan terhadap Tuhan, kita menjunjung tinggi janji-janji kepada-Nya dan rela berkurban demi kasih-Nya, seumpama memilih menerima kemartiran daripada mengingkari iman.
Kewajiban kedua dalam keadilan adalah kewajiban terhadap sesama. Seorang tidak hanya wajib menjauhkan diri dari berbuat jahat kepada sesama, melainkan juga wajib melakukan apa yang baik kepada sesama. Dengan demikian, orang wajib menghormati hak-hak setiap orang dan membina persahabatan yang mendorong kesetaraan di antara semua orang dan membangun kesejahteraan bersama.
Kebajikan keadilan memiliki tiga dimensi: keadilan komutatif atau timbal balik, keadilan distributif, dan keadilan legal atau umum. Keadilan komutatif atau timbal balik mengatur hubungan antara individu. Pada hakekatnya, ini adalah keadilan kontrak. Arti kontrak di antara individu-individu adalah mengidentifikasi hak masing-masing pihak dan menjamin tuntutan pihak yang satu atas suatu manfaat tertentu adalah sebanyak kewajiban pihak yang lain dalam menyediakan manfaat tersebut.
Melihat pada spektrum keadilan yang lebih luas, keadilan distributif mengatur hubungan antara komunitas sebagai suatu kesatuan dengan anggota-anggota individualnya. Dalam keadilan, komunitas secara keseluruhan wajib memajukan kesejahteraan setiap anggota, bukan hanya kalangan mayoritas. Sebab itu, mereka yang diserahi kepercayaan memelihara kesejahteraan anggota wajib memastikan bahwa kepada angota-anggota individual diberikan apa yang menjadi hak mereka. Sebagai contoh, dalam keadilan, pemerintah wajib memastikan bahwa tiap-tiap warga negara mendapatkan sandang, pangan, papan, perawatan kesehatan dan pendidikan yang layak yang merupakan kebutuhan-kebutuhan dasar bagi harkat martabat setiap orang. Di sini orang mengenali kewajiban komunitas secara keseluruhan untuk memberikan perhatian secara istimewa kepada para anggota yang paling lemah - bayi-bayi yang tidak dilahirkan, mereka yang lanjut usia, yang sakit dan yang cacat.
Terakhir, keadilan legal atau umum menyangkut hubungan individu dengan komunitas secara keseluruhan. Setiap orang mempunyai kewajiban untuk dilaksanakannya dan kewajiban untuk mentaati hukum-hukum yang adil yang menjamin kesejahteraan bersama. Sebagai misal, setiap warga negara berkewajiban mendukung kesejahteraan bersama melalui pembelaan terhadap negara atau melalui pembayaran pajak (sayang, tapi memang benar demikian).
Kebajikan yang berasal dari keadilan meliputi bakti (di sini adalah hormat dan pelayanan kepada orangtua, negara, dan mereka yang ada dalam otoritas yang sah), taat, tahu berterima kasih, tulus, ramah-tamah dan tidak sewenang-wenang.
Selanjutnya, kebajikan KEBERANIAN memungkinkan orang untuk berdiri tegak mengatasi dan menanggung kesulitan-kesulitan hidup dan tetap teguh dalam mengejar apa yang baik. Di sini keteguhan dan ketekunan mencerminkan keterpautan jiwa pada apa yang baik. Keberanian sejati bukan berarti orang berkurban atau membahayakan hidup dengan tindakan yang gegabah atau bodoh. Tetapi, keberanian sejati senantiasa dipraktekkan seturut akal budi, pertimbangan dan nilai sesuatu (misalnya, mempertanyakan apakah sungguh pantas kita berkurban untuk sesuatu itu) dan menyangkut rasa keadilan. Keberanian memperkuat tekad individu untuk melawan pencobaan, mengatasi kelemahan pribadi dan berkurban demi apa yang baik.
Memiliki keberanian tidak berarti bahwa orang bebas dari rasa takut. Sebaliknya, seorang yang memiliki keberanian mengenal rasa takut, tetapi tidak membiarkan rasa takut itu menghindarkannya dari melakukan apa yang baik, atau terlebih parah, melakukan apa yang jahat. Coba renungkan betapa pentingnya keberanian untuk berdiri tegak melawan tekanan teman sebaya. Keberanian memperkuat seseorang untuk menaklukkan rasa takut akan kematian atau aniaya, dan bahkan memberikan kekuatan untuk menanggung kemartiran.
Kebajikan yang berasal dari keberanian meliputi keluhuran budi, yang mencondongkan orang untuk melakukan perbuatan-perbuatan besar dalam setiap kebajikan; kebaikan hati, yang mencondongkan orang untuk melakukan perbuatan-perbuatan besar jasmani; kesabaran, yang mencondongkan orang untuk menanggung kejahatan-kejahatan yang ada; dan ketekunan, yang mencondongkan orang untuk terus berdiri tegak dalam mengejar kebajikan. Lawan dari keberanian meliputi takut, ceroboh, prasangka, ambisi, pongah, pengecut, labil dan bebal.
Dan akhirnya, kebajikan PENGUASAAN DIRI memungkinkan orang untuk mengontrol hawa nafsu dan emosi di bawah kendali akal budi. Sementara penguasaan diri mengendalikan ketertarikan orang pada kesenangan dan menyeimbangkan penggunaan barang-barang ciptaan, penguasaan diri juga menyangkut penggunaan barang-barang ini secara baik. Di sini orang menikmati kesenangan dan mempergunakan barang-barang ciptaan dalam terang iman, akal budi dan panggilan hidup serta keadaan hidupnya.
Pengamalan penguasaan diri meliputi dua bagian penting: perasaan malu dan perasaan terhormat. Perasaan malu menyebabkan orang takut merasa malu, cemar atau aib akibat kelakuannya yang lepas kendali. Perasaan terhormat menyebabkan orang ingin merasa dihargai, dihormati atau dikasihi karena mengamalkan penguasaan diri. Di satu pihak, perasaan malu menghindarkan orang dari bertindak lepas kendali dan karenanya tidak baik; sementara di lain pihak, perasaan hormat mengilhami orang untuk bertindak dengan penguasaan diri dan karenanya patut dipuji.
Pada pokoknya, penguasaan diri dalam tindakan adalah menjaga diri, sementara lepas kendali dalam tindakan adalah memerosotkan dan merusak diri. Kebajikan yang tercakup dalam penguasaan diri meliputi pantang, laku tapa, ugahari, murni, mengendalikan nafsu, rendah hati, lemah-lembut, belas kasihan, sopan dan murah hati. Sebaliknya lawan dari penguasaan diri meliputi rakus, mabuk, berfoya-foya, ketidakmurnian, mengumbar nafsu, congkak, murka dan tamak.
Pengamalan dan perkembangan keempat kebajikan pokok ini penting bagi kehidupan rohani kita. Tetapi, seperti kata pepatah, “Mudah dikatakan, sulit dilakukan.” Sebagai kurban yang malang dari dosa asal, masing-masing kita mengalami kesulitan dalam mengamalkan kehidupan yang berkebajikan. Karenanya, kita membutuhkan berlimpah rahmat dari Tuhan melalui doa, sesering mungkin menyambut sakramen-sakramen dan karunia-karunia Roh Kudus. Melihat teladan para kudus dan memohon bantuan doa mereka juga meneguhkan tekad kita dalam mencapai kekudusan. Yesus menantang kita, “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapa-mu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48). Dengan mengamalkan kebajikan dan ditopang oleh rahmat Tuhan serta pertolongan Bunda Maria, para malaikat dan para kudus, kita pasti dapat menerima tantangan tersebut.
Sumber: P. William P. Saunders
0 comments: