Menerima Teguran Dengan Pikiran Yang Positif

Filed under: by: GreenGrass


"Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku."  Mazmur 26:2

Ketika pertama kali kita mendengar kata "koreksi", biasanya kita sudah bisa membayangkan bahwa ada sesuatu yang akan diperbaiki. Banyak sekali kejadian dalam hidup yang menggunakan kata itu.  Dimulai dari sejak kita bersekolah. Anak-anak yang diberikan tugas, pada akhirnya harus diperiksa oleh bapak/ibu guru. Sering sekali jika jawaban dari suatu pertanyaan dalam tugas yang diberikan tidak memiliki jawaban yang tepat, biasanya si guru akan berkata "no sekian..jawabannya masih salah, tolong dikoreksi kembali". Walau pada akhirnya, jawaban yang benar akan diberikan di akhir hari di sesi dalam kelas itu.

Hal yang sama pun dialami ketika kita duduk dibangku perkuliahan. Bedanya dengan masa di bangku sekolah, di kampus seorang dosen tidak akan memberikan jawaban terhadap pertanyaannya secara cuma cuma, dan biasanya mahasiswa harus mencari jawabannya terlebih dahulu (biasanya harus jungkir balik dulu) sebelum mendapatkannya langsung dari si dosen. Hal yang paling ditakuti oleh mahasiswa tentunya saat di persiapan ujian akhir, dimana perkataan "koreksi" yang muncul dari dosen pembimbing ataupun dosen penguji, dapat menambah lama waktu berbakti mereka di kampus. Yang tadinya menginginkan lulus tepat waktu, jadinya harus ditambah 1 semester.

Hingga saat kerja pun, kata koreksi masih membuat bulu kuduk kita berdiri ketika kita maju ke depan meja bos untuk menyampaikan laporan. Ada apa dengan kata koreksi?

Koreksi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah pembetulan, perbaikan, pemeriksaan. Bisa dikatakan bahwa koreksi adalah proses yang mengidentifikasi sesuatu yang salah dan dilakukan tindak lanjut agar hal tersebut kembali menjadi benar.

Kita ambil satu contoh. Di bidang kedokteran, yaitu di bagian tulang. Ketika ada atlet yang cedera pada tulang atau ada orang yang sedang sial mengalami masalah pada tulangnya, biasanya dokter yang sudah memeriksanya akan mengatakan bahwa kondisi tulangnya harus dikoreksi. Jadi benar, bahwa koreksi di dunia kedokteran adalah membuat posisi yang salah menjadi kembali ke posisi semula (posisi yang benar).

Oleh karena itu, kita sering sekali tidak suka pada bagian "dikoreksi" . Mengenai bagaimana kita makan, bagaimana kita menyajikan laporan untuk atasan kita, ataupun bagaimana kita membawa diri kita ke dalam keluarga maupun masyarakat.  Sebenarnya koreksi ini bagus, karena membuat yang salah menjadi benar. Jika suatu saat kita dikoreksi oleh seseorang, berarti kita ada atau sedang melakukan kesalahan. Kita harus menyampaikan terima kasih kepada orang itu dan tentunya setelah mendengar bagian mana yang harus dikoreksi dan jika dia memiliki pengalaman terhadap bagian itu, mungkin kita bisa meminta apa saran terbaik yang dapat kita lakukan. Dengan demikian, kita sudah selangkah lebih depan dalam hal memperbaiki diri.

Tentunya kita harus bijak dalam menerima masukan dan memilah bagian apa yang harus dikoreksi. Utamakan hal yang berhubungan dengan orang banyak, bukan hal yang bersifat pribadi. Contohnya, bagaimana kita memperlakukan teman kantor kita, walau kita adalah atasan mereka. Bukan mengenai masalah hobi atau keberagaman sifat(budaya) yang harus disatukan.

Tidak ada yang salah dan tidak harus malu ketika kita dikoreksi oleh orang lain. Jika mereka benar, mengapa kita tidak menerima dan memperbaiki diri? Jika mereka salah? Itu berarti mereka memberi perhatian kepada kita. Nothing to lose.

Ketika melakukan sebuah kesalahan tidak semua orang mau ditegur dan dikoreksi.  Kita cenderung membenarkan diri sendiri atau menganggap diri paling benar.  Orang yang merasa dirinya pintar seringkali berpikir bahwa setiap perkataan dan keputusannya adalah selalu benar, sehingga ia sering menempatkan kelemahan, kekurangan dan kesalahan pada pihak lain, seperti kata Alkitab:  "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?"  (Matius 7:3).  Juga yang telah memiliki kedudukan tinggi atau kaya seringkali menjadi sombong atas apa yang telah diperolehnya, sehingga tidak sedikit yang memandang rendah orang lain.  Orang seperti ini juga biasanya mudah marah dan tersinggung apabila ditegur dan dikoreksi orang lain.

Mari belajar dari Daud, yang walaupun memiliki kedudukan tinggi sebagai raja, terkenal, memiliki kekayaan yang melimpah dan juga pasukan tentara yang kuat, tetaplah orang yang rendah hati.  Kerinduannya untuk senantiasa berjalan dalam kehendak Tuhan membuatnya rela ditegur dan dikoreksi setiap saat.  Bahkan ia memohon kepada Tuhan untuk selalu diselidiki hatinya apabila masih ada hal-hal yang tidak berkenan kepadaNya.  Daud berkata,  "Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku."

Sebagai manusia Daud sadar bahwa dia bukanlah orang yang sempurna, bahkan seringkali ia melakukan pelanggaran di hadapan Tuhan.  Meski demikian ia selalu berjiwa besar untuk menerima teguran dan koreksi.  Ketika telah berbuat dosa, ia dengan jujur mengakuinya.  Dengan hati hancur ia datang kepada Tuhan, meminta pengampunan dari Tuhan dan segera bertobat.  Ia berkata,  "Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh! Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku!"  (Mazmur 51:12-13).  Akan tetapi tidak demikian dengan Saul, yang ketika ditegur karena kesalahannya ia langsung marah atau berkilah dan menyalahkan orang lain.  Bagaimana dengan kita?  Adakalanya Tuhan memakai orang lain untuk menegur dan mengoreksi kita.

Setiap teguran dan koreksi yang ditujukan kepada kita hendaknya kita sikapi dengan pikiran yang positif, karena hal itu demi kebaikan kita juga!

0 comments:

Grab this Widget ~ Blogger Accessories