Menghadapi Suami Yang Pemarah Dan Kasar

Filed under: by: GreenGrass

Tidak ada wanita manapun yang ingin diperlakukan kasar oleh suaminya. Tapi, kehidupan itu senantiasa berubah, dan seringkali tak terduga. Bila dulu di masa perkenalan dan masa pengantin baru suami begitu lembut dan pengasih, bisa tiba-tiba berubah perangai karena suatu hal, menjadi seorang yang sangat pemarah dan kasar.

Namun, sebagai wanita, kita tidak boleh pasrah dan menyerah begitu saja saat kita disakiti atau diperlakukan kasar. Karena pada prinsipnya, perlakuan tidak menyenangkan atau perlakuan yang tidak diinginkan itu termasuk kategori pelecehan. Dan pelecehan tidak boleh dilakukan dengan alasan apapun.

, "Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat." (Efesus 5:28-29)

Dan biasanya, seorang istri sudah cukup baginya menerima nasehat dari suaminya. Ketika mereka melakukan kesalahan, lebih mudah bagi mereka untuk menerima kebenaran itu bila disampaikan dengan kebijaksanaan dan kasih sayang

Kemudian, coba ungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang baik atas perilaku suami yang kasar. Misalnya, dengan membicarakan hal tersebut dengan sopan dan tenang di saat suami sudah reda emosinya, namun juga tunjukkan sikap yang tegas. Jadi tidak boleh kita merasa ragu-ragu, tapi juga tidak boleh sambil marah-marah atau emosi yang dapat memicu pertengkaran. Lakukan pendekatan secara personal di saat ia sedang tenang. Misalnya, “Mas, maafkan saya soal kemarin. Saya mungkin salah karena kurang bisa bersabar, dan masih sering menuntut. Tapi, ayo kita perbaiki ini bersama-sama. Saya mau belajar bersabar, tapi saya pun berharap mas juga bisa bersabar dan lebih menahan diri. Mari kita bersama-sama mencari solusi untuk masalah ini.”

Upayakan untuk memberinya rasa tenang dan membuat ia merasa dicintai dan dihargai. Tapi, jika terjadi ketegangan dan ia mulai bertindak kasar, maka ambillah jarak dengannya. Lalu katakan bahwa sudah cukup baginya untuk memperlakukan istri dengan kasar dan tegaskan bahwa Anda tidak mau diperlakukan seperti itu lagi. Jika perlu, mintalah dokter untuk memberikan visum sebagai bukti.

Pada dasarnya, suami itu memiliki kebutuhan mendasar yaitu merasa dibutuhkan oleh istrinya. Namun, perlakuan-perlakuan kasar suami dapat membuat istri menjadi tersakiti dan akhirnya hilanglah rasa butuhnya terhadap suami, dan itulah yang nantinya bisa dijadikan “senjata”. Jika suami tidak mau berubah, bahkan semakin menjadi, tinggalkan saja. Wanita tidak boleh menjadi lemah dan bergantung pada laki-laki kasar seperti itu.

Untuk apa? Kita tidak butuh diperlakukan kasar. Kita juga tidak butuh melihat anak-anak ikut tersakiti karena melihat ibunya dipukuli oleh ayahnya. Kita tidak butuh contoh ayah yang kasar, yang tidak bisa berlaku sayang pada keluarga. Kita butuh suami yang memiliki hati dan jiwa yang sehat.

Cinta? Masih adakah cinta yang tersisa untuk seorang suami dengan perangai kasar seperti itu? Tidak. Konyol saja jika ada istri yang mau bertahan dipukuli dan dikasari suaminya berkali-kali dan membiarkan anak-anaknya menyaksikan hal tersebut terjadi di dalam rumahnya. Anak-anak butuh figur yang sehat jiwanya untuk bisa menjadi manusia yang juga sehat jiwanya di kemudian hari. Jangan pernah Anda fikir bahwa rasa “cinta” itu bisa membenarkan kita diperlakukan demikian. Anda mungkin bisa, tapi tidak anak-anak Anda.

Tuhan memerintahkan agar suami mengasihi istrinya dan berdasarkan pelukisan kasih yang diberikan dalam Efesus 5:25-30, tersirat satu pesan bahwa mengasihi berarti memperlakukan istri dengan lembut dan penuh respek. Masalahnya adalah dengan berjalannya waktu acap kali kelembutan bermorfosis menjadi kekasaran; respek berubah menjadi hina.

Sudah tentu kita akan berkata bahwa perubahan ini terjadi bukan tanpa sebab. Pastilah kita akan menyebut sikap dan perilaku istri yang tidak baik sebagai alasan utama mengapa kita memerlakukannya dengan kasar. Sungguhpun demikian kita mesti mengingat bahwa panggilan untuk hidup sesuai karakter Allah tidak bergantung pada situasi. Apa pun situasinya, Tuhan meminta kita untuk mengasihi dan memerlakukan istri dengan lembut dan penuh respek.

Berikut akan dipaparkan situasi yang sering kali menyukarkan suami untuk mengasihi istri dan memerlakukannya dengan lembut :

1.               Secara sosial-budaya masih ada yang mengajarkan bahwa perempuan hanyalah obyek atau alat untuk melayani suami dan memelihara anak-anak. Berdasarkan nilai hidup ini maka perempuan tidaklah dipandang sama berharganya dengan laki-laki dan menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah kewajiban belaka—sesuatu yang sudah seharusnyalah dilakukan. Nah, dapat kita bayangkan betapa mudahnya nilai hidup seperti ini akhirnya melahirkan sikap kasar dan tidak jarang, kekerasan terhadap istri.

2.               Dalam lingkungan tertentu suami yang memberi perhatian besar kepada istri dipandang sebagai suami yang lemah. Mendahulukan kepentingan istri disamakan dengan kebodohan. Dan, kecintaan kepada istri dianggap sebagai ketakutan pada istri. Alhasil, tekanan sosial seperti ini menciptakan suami yang tidak tanggap terhadap kebutuhan istri dan cenderung menekan—bahkan menindas—istri agar taat kepadanya. Setiap perkataannya mesti dituruti; bila tidak, ia pun tidak segan-segan menggunakan kekerasan.

3.              Adakalanya suami bersikap kasar sebagai pembalasan atau reaksi terhadap kegagalan istri untuk memenuhi kebutuhannya. Misalkan, suami mengharapkan istri untuk bekerja guna menunjang kebutuhan keluarga namun istri menolak dengan dalih bahwa sudah seharusnyalah suami yang bekerja memenuhi kebutuhan keluarga—sekali pun itu berarti ia harus bekerja lembur sampai malam. Suami menyimpan kemarahan tetapi tidak berdaya untuk memaksa istri oleh karena dalih yang ditekankan istri bahwa suami memang harus menyediakan kebutuhan keluarga. Akhirnya kemarahan ini melahirkan sikap kasar sebab pada dasarnya lewat perilaku kasar ia sebetulnya tengah membalas dendam kepada istrinya.

4.                Kadang suami bersikap kasar kepada istri guna menunjukkan bahwa ia tetap berkuasa dalam keluarga. Mungkin ia melihat bahwa istri makin naik daun dalam pekerjaannya sedangkan ia tidak. Atau, istri berasal dari latar belakang ekonomi keluarga yang lebih mapan. Untuk menunjukkan bahwa ia tetaplah berkuasa, ia tidak segan-segan memakai kekasaran.

5.                Adakalanya suami bersikap kasar kepada istri karena memang istri tidak menghormati suami. Kadang suami tidak memerlihatkan kehidupan yang berintegritas dan sudah tentu hal seperti ini mengundang tanggapan tidak menghormati dari pihak istri. Namun ada istri yang memang sukar menghormati suami karena pelbagai alasan yang tidak dapat dibenarkan. Misalnya ada istri yang menuntut suami untuk berpenghasilan tinggi dan bila ini tidak tercapai, ia tidak menghormati suami dan sebagainya. Sudah tentu bila ini terjadi, mudah sekali bagi suami untuk bersikap kasar kepada istri.

6.                Kehilangan kasih juga dapat menjadi penyebab mengapa suami bersikap kasar kepada istri. Mungkin akibat masalah yang berlarut-larut, akhirnya kasih padam. Atau, mungkin suami tertarik kepada wanita lain sehingga merasa hidup dengan istri sebagai siksaan tersendiri. Tidak heran, ia lalu bersikap kasar kepada istrinya.

7.                Terakhir, suami bersikap kasar kepada istri oleh karena ia memang ingin lepas dari istri namun tidak berani mengambil tindakan sehingga ia terus memojokkan istrinya dengan perlakuan kasar. Pada akhirnya istri tidak tahan dan memilih untuk meninggalkan suami. Tercapailah cita-cita suami.

"Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat." (Efesus 5:28-29)

Satu hal yang harus diingat oleh setiap wanita adalah jangan pernah lemah hati dan diri dari perlakuan suami yang kasar. Bersikaplah tegas, maafkan jika itu khilafnya yang ia lakukan sekali. Tapi, jangan mau diperlakukan lebih dari satu kali. Ketegasan dalam diri kita adalah upaya menyelamatkan diri dan anak-anak secara fisik dan mental, agar tidak menjadi korban kekerasan.

0 comments:

Grab this Widget ~ Blogger Accessories