Tidak ada wanita manapun yang
ingin diperlakukan kasar oleh suaminya. Tapi, kehidupan itu senantiasa berubah,
dan seringkali tak terduga. Bila dulu di masa perkenalan dan masa pengantin
baru suami begitu lembut dan pengasih, bisa tiba-tiba berubah perangai karena
suatu hal, menjadi seorang yang sangat pemarah dan kasar.
Namun, sebagai wanita, kita tidak
boleh pasrah dan menyerah begitu saja saat kita disakiti atau diperlakukan
kasar. Karena pada prinsipnya, perlakuan tidak menyenangkan atau perlakuan yang
tidak diinginkan itu termasuk kategori pelecehan. Dan pelecehan tidak boleh
dilakukan dengan alasan apapun.
, "Demikian juga suami harus
mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya
mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri
tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat."
(Efesus 5:28-29)
Dan biasanya, seorang istri sudah
cukup baginya menerima nasehat dari suaminya. Ketika mereka melakukan kesalahan,
lebih mudah bagi mereka untuk menerima kebenaran itu bila disampaikan dengan
kebijaksanaan dan kasih sayang
Kemudian, coba ungkapkan
ketidaksetujuan dengan cara yang baik atas perilaku suami yang kasar. Misalnya,
dengan membicarakan hal tersebut dengan sopan dan tenang di saat suami sudah
reda emosinya, namun juga tunjukkan sikap yang tegas. Jadi tidak boleh kita
merasa ragu-ragu, tapi juga tidak boleh sambil marah-marah atau emosi yang
dapat memicu pertengkaran. Lakukan pendekatan secara personal di saat ia sedang
tenang. Misalnya, “Mas, maafkan saya soal kemarin. Saya mungkin salah karena
kurang bisa bersabar, dan masih sering menuntut. Tapi, ayo kita perbaiki ini
bersama-sama. Saya mau belajar bersabar, tapi saya pun berharap mas juga bisa
bersabar dan lebih menahan diri. Mari kita bersama-sama mencari solusi untuk
masalah ini.”
Upayakan untuk memberinya rasa
tenang dan membuat ia merasa dicintai dan dihargai. Tapi, jika terjadi ketegangan
dan ia mulai bertindak kasar, maka ambillah jarak dengannya. Lalu katakan bahwa
sudah cukup baginya untuk memperlakukan istri dengan kasar dan tegaskan bahwa
Anda tidak mau diperlakukan seperti itu lagi. Jika perlu, mintalah dokter untuk
memberikan visum sebagai bukti.
Pada dasarnya, suami itu memiliki
kebutuhan mendasar yaitu merasa dibutuhkan oleh istrinya. Namun,
perlakuan-perlakuan kasar suami dapat membuat istri menjadi tersakiti dan
akhirnya hilanglah rasa butuhnya terhadap suami, dan itulah yang nantinya bisa
dijadikan “senjata”. Jika suami tidak mau berubah, bahkan semakin menjadi,
tinggalkan saja. Wanita tidak boleh menjadi lemah dan bergantung pada laki-laki
kasar seperti itu.
Untuk apa? Kita tidak butuh
diperlakukan kasar. Kita juga tidak butuh melihat anak-anak ikut tersakiti
karena melihat ibunya dipukuli oleh ayahnya. Kita tidak butuh contoh ayah yang
kasar, yang tidak bisa berlaku sayang pada keluarga. Kita butuh suami yang
memiliki hati dan jiwa yang sehat.
Cinta? Masih adakah cinta yang
tersisa untuk seorang suami dengan perangai kasar seperti itu? Tidak. Konyol
saja jika ada istri yang mau bertahan dipukuli dan dikasari suaminya
berkali-kali dan membiarkan anak-anaknya menyaksikan hal tersebut terjadi di
dalam rumahnya. Anak-anak butuh figur yang sehat jiwanya untuk bisa menjadi
manusia yang juga sehat jiwanya di kemudian hari. Jangan pernah Anda fikir
bahwa rasa “cinta” itu bisa membenarkan kita diperlakukan demikian. Anda
mungkin bisa, tapi tidak anak-anak Anda.
Tuhan memerintahkan agar suami
mengasihi istrinya dan berdasarkan pelukisan kasih yang diberikan dalam Efesus
5:25-30, tersirat satu pesan bahwa mengasihi berarti memperlakukan istri dengan
lembut dan penuh respek. Masalahnya adalah dengan berjalannya waktu acap kali
kelembutan bermorfosis menjadi kekasaran; respek berubah menjadi hina.
Sudah tentu kita akan berkata
bahwa perubahan ini terjadi bukan tanpa sebab. Pastilah kita akan menyebut
sikap dan perilaku istri yang tidak baik sebagai alasan utama mengapa kita
memerlakukannya dengan kasar. Sungguhpun demikian kita mesti mengingat bahwa
panggilan untuk hidup sesuai karakter Allah tidak bergantung pada situasi. Apa
pun situasinya, Tuhan meminta kita untuk mengasihi dan memerlakukan istri
dengan lembut dan penuh respek.
Berikut akan dipaparkan situasi
yang sering kali menyukarkan suami untuk mengasihi istri dan memerlakukannya
dengan lembut :
1. Secara sosial-budaya masih ada yang mengajarkan
bahwa perempuan hanyalah obyek atau alat untuk melayani suami dan memelihara
anak-anak. Berdasarkan nilai hidup ini maka perempuan tidaklah dipandang sama
berharganya dengan laki-laki dan menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah
kewajiban belaka—sesuatu yang sudah seharusnyalah dilakukan. Nah, dapat kita
bayangkan betapa mudahnya nilai hidup seperti ini akhirnya melahirkan sikap
kasar dan tidak jarang, kekerasan terhadap istri.
2. Dalam lingkungan tertentu suami yang memberi
perhatian besar kepada istri dipandang sebagai suami yang lemah. Mendahulukan
kepentingan istri disamakan dengan kebodohan. Dan, kecintaan kepada istri
dianggap sebagai ketakutan pada istri. Alhasil, tekanan sosial seperti ini
menciptakan suami yang tidak tanggap terhadap kebutuhan istri dan cenderung
menekan—bahkan menindas—istri agar taat kepadanya. Setiap perkataannya mesti
dituruti; bila tidak, ia pun tidak segan-segan menggunakan kekerasan.
3.
Adakalanya suami bersikap kasar sebagai
pembalasan atau reaksi terhadap kegagalan istri untuk memenuhi kebutuhannya.
Misalkan, suami mengharapkan istri untuk bekerja guna menunjang kebutuhan keluarga
namun istri menolak dengan dalih bahwa sudah seharusnyalah suami yang bekerja
memenuhi kebutuhan keluarga—sekali pun itu berarti ia harus bekerja lembur
sampai malam. Suami menyimpan kemarahan tetapi tidak berdaya untuk memaksa
istri oleh karena dalih yang ditekankan istri bahwa suami memang harus
menyediakan kebutuhan keluarga. Akhirnya kemarahan ini melahirkan sikap kasar
sebab pada dasarnya lewat perilaku kasar ia sebetulnya tengah membalas dendam
kepada istrinya.
4. Kadang suami bersikap kasar kepada istri guna
menunjukkan bahwa ia tetap berkuasa dalam keluarga. Mungkin ia melihat bahwa
istri makin naik daun dalam pekerjaannya sedangkan ia tidak. Atau, istri
berasal dari latar belakang ekonomi keluarga yang lebih mapan. Untuk
menunjukkan bahwa ia tetaplah berkuasa, ia tidak segan-segan memakai kekasaran.
5. Adakalanya suami bersikap kasar kepada istri
karena memang istri tidak menghormati suami. Kadang suami tidak memerlihatkan
kehidupan yang berintegritas dan sudah tentu hal seperti ini mengundang
tanggapan tidak menghormati dari pihak istri. Namun ada istri yang memang sukar
menghormati suami karena pelbagai alasan yang tidak dapat dibenarkan. Misalnya
ada istri yang menuntut suami untuk berpenghasilan tinggi dan bila ini tidak
tercapai, ia tidak menghormati suami dan sebagainya. Sudah tentu bila ini
terjadi, mudah sekali bagi suami untuk bersikap kasar kepada istri.
6. Kehilangan kasih juga dapat menjadi penyebab
mengapa suami bersikap kasar kepada istri. Mungkin akibat masalah yang
berlarut-larut, akhirnya kasih padam. Atau, mungkin suami tertarik kepada
wanita lain sehingga merasa hidup dengan istri sebagai siksaan tersendiri.
Tidak heran, ia lalu bersikap kasar kepada istrinya.
7. Terakhir, suami bersikap kasar kepada istri oleh
karena ia memang ingin lepas dari istri namun tidak berani mengambil tindakan
sehingga ia terus memojokkan istrinya dengan perlakuan kasar. Pada akhirnya
istri tidak tahan dan memilih untuk meninggalkan suami. Tercapailah cita-cita
suami.
"Demikian juga suami harus
mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi istrinya
mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri
tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat."
(Efesus 5:28-29)
Satu hal yang harus diingat oleh setiap wanita adalah jangan
pernah lemah hati dan diri dari perlakuan suami yang kasar. Bersikaplah tegas,
maafkan jika itu khilafnya yang ia lakukan sekali. Tapi, jangan mau
diperlakukan lebih dari satu kali. Ketegasan dalam diri kita adalah upaya
menyelamatkan diri dan anak-anak secara fisik dan mental, agar tidak menjadi
korban kekerasan.
0 comments: