"Janganlah kamu berhutang
apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab
barangsiapa mengasihi sesamanya manusia dia sudah memenuhi hukum taurat." (Roma
13:8)
Banyak di antara kita yang melihat seorang teman berubah ketika ia menjalin
hubungan dengan seseorang, mengenyampingkan identitasnya sendiri, selalu
berusaha menyenangkan hati pasangannya demi hubungan yang harmonis. Kita
melihatnya dan bersumpah untuk tidak menjadi seperti itu saat kita menjalin
hubungan serius dengan seseorang atau setelah kita menikah. Tetapi fakta
menakutkannya adalah hal itu sangat mudah sekali terjadi. Dengan merelakan
hal-hal yang mendefinisikan siapa anda sebenarnya — mendatangi tempat-tempat
tertentu, membaca buku-buku tertentu, menonton acara tv tertentu, berteman
dengan orang-orang tertentu — dan tumbuh di tempat dimana anda mengenal
pasangan anda tapi tidak lagi mengenal diri anda sendiri.
Pada akhirnya anda akan mulai merasa marah karena semua hal yang anda
nikmati hilang. Anda akan merasa kekurangan dan tidak bahagia karena telah
melewatkan hal-hal yang anda sukai. Anda dapat menghindari rasa kehilangan akan
siapa diri anda sebenarnya dalam pernikahan dan kemarahan yang datang
setelahnya.
Ada anggapan bahwa setelah kita
menikah maka dua kepribadian yaitu suami-istri itu menjadi satu, dalam
pengertian masing-masing kehilangan pribadinya atau dirinya. Sesungguhnya yang
terjadi adalah bukannya dua orang itu membentuk suatu pribadi yang baru, tetapi
dua orang itu tetap mempertahankan pribadi masing-masing atau diri
masing-masing tapi dia akan belajar hidup bersama dengan yang lainnya. Jadi
dalam hubungan ini tidak bisa tidak harus ada yang namanya prubahan, perubahan
gaya hidup, perubahan tutur kata dan juga harus ada unsur penahanan diri.
Kepribadian adalah sesuatu yang unik tentang diri kita, misalkan orang yang
bersifat sanguin atau yang lebih bersifat melankolik. Keunikan tidak harus
diubah sewaktu kita menikah dengan pasangan kita, yang tidak sehat justru
adalah gara-gara kita menikah kita ini harus mengubah kepribadian kita.
Penyesuaian kepribadian dengan
pasangan kita memerlukan proses yang berlangsung seumur hidup, namun yang
paling berat adalah
1. Lima
tahun pertama dan tiga tahun pertama setelah kita menikah. Ini adalah tahap
penyesuaian, karena dua orang berkumpul dalam satu rumah dan harus menyesuaikan
diri.
2. Tahap
kedua adalah kira-kira usia sekitar 45 hingga 55 atau usia setengah baya, pada
usia ini kita kehilangan peran sebagai orangtua, anak-anak sudah mulai besar,
anak-anak sudah ada yang menikah. Kita kehilangan peran sebagai seorang ayah
atau ibu, sebagai suami dan istri dan kita harus kembali menyesuaikan diri
sebagai orang yang tiba-tiba kehilangan peran, dan menyesuaikan diri, hidup
lagi dengan istri atau suami kita.
Yang dimaksud dengan pribadi
adalah diri, sedangkan kepribadian adalah ciri yang khas atau sifat-sifat yang
khas, yang terkandung dalam diri kita itu. Istilah karakter dan kepribadian
secara bergantian digunakan orang. Namun di sini karakter itu secara rohani dan
kepribadian itu secara psikologis. Karakter rohani termaktub dalam Galatia
5:22,23, "Buah Roh Kudus ialah kasih, sukacita, kemurahan, penguasaan
diri, kesetiaan.... nah setiap orang kristen seharusnya memiliki karakter
kristiani.
Dalam pernikahan kita harus
menghargai kepribadian pasangan kita yang memang tidak sama. Untuk bisa
menyatukan kepribadian itu dalam satu wadah pernikahan, yang diperlukan adalah
karakter kristiani kita. Jadi tidak peduli kita ini sanguin, plegmatik,
melankolik, atau kolerik yang paling penting adalah apakah kita bisa
menumbuhkembangkan buah Roh Kudus, apakah kita bisa menjadi suami yang sabar,
apakah kita bisa menjadi istri yang bisa menguasai diri, apakah kita bisa
menjadi pasangan yang murah hati, apakah kita bisa menjadi suami-istri yang
setia terhadap satu sama lain. Jadi akhirnya yang paling penting adalah
karakter kristiani, yang perlu kita tumbuhkembangkan, kita tidak usah berupaya
mengubah kepribadian pasangan kita.
"Janganlah kamu berhutang
apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab
barangsiapa mengasihi sesamanya manusia dia sudah memenuhi hukum taurat." (Roma
13:8) Untuk memadukan dua pribadi dalam satu pernikahan tidak bisa tidak harus
punya kekuatan Tuhan untuk bisa mengasihi dan akhirnya kita baru bisa menerima
dan buah-buah Roh Kudus lainnya bisa tumbuh dengan bebas.
0 comments: