Teladan Melayani Dengan Kasih (Kamis Putih)

Filed under: by: GreenGrass

“Sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu”. (Yoh 13:15

Hanya Injil Yohanes sajalah yang menyampaikan kisah pembasuhan kaki para murid (Yoh 13:1-15) Petikan ini dibacakan pada Pesta Perjamuan Tuhan pada hari Kamis dalam Pekan Suci. Memang dahulu lazim orang membasuh kaki sendiri sebelum masuk ke ruang perjamuan agar masuk dengan kaki bersih. Hanya tamu yang amat dihormati sajalah, misalnya seorang guru atau orang yang dituakan, akan dibasuh kakinya. Tapi ini dilakukan sebelum perjamuan mulai.

Dalam Injil Yohanes peran-peran tadi dibalik. Yesus sang guru kini membasuh kaki para muridnya. Lagi pula pembasuhan ini terjadi selama perjamuan sendiri, bukan sebelumnya seperti biasa dilakukan orang waktu itu. Kiranya hendak disampaikan hal yang tidak biasa. Pembasuhan kaki di sini tidak ditampilkan semata-mata sebagai tanda memasuki perjamuan dengan bersih, tetapi untuk menandai hal lain. Apa itu? Baiklah didekati kekhususan Yohanes dalam menyampaikan kejadian-kejadian terakhir dalam hidup Yesus.


Membasuh Kaki Para Murid
Yohanes juga menekankan, Yesus sadar bahwa dirinya “datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah” (ay. 3). Karena itu mereka yang mengenalnya akan mengenali Yang Ilahi dari dekat. Ini semua diajarkan Yesus kepada para murid terdekat pada perjamuan malam terakhir itu dengan membasuh kaki mereka. Dia yang sadar berasal dari Allah dan sedang kembali menuju kepadaNya ingin menunjukkan bahwa orang-orang terdekat itu sedemikian berharga, sedemikian terhormat.

Lebih dari itu, ia ingin berbagi “sangkan paran” – dari siapa dan menuju ke siapa – dengan mereka. Inilah yang dimaksud dengan mengasihi sepenuhnya (ay. 1, Yunaninya “eis telos”). Tidak setengah-setengah melainkan hingga tujuan kedatangannya terlaksana, yakni membawa manusia ke dekat Allah, asal terang dan kehidupan.

Petrus terheran-heran dan tak bisa menerima gurunya membasuh kakinya. Yesus mengatakan bahwa kelak ia akan mengerti walaupun kini belum menangkapnya (ay. 6-7). Tetapi Petrus belum puas dan bersikeras menolak dibasuh kakinya oleh gurunya itu. Pada saat inilah Yesus menjelaskan, ” Jikalau aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam aku.” (ay. 8). Dia yang “sangkan paran”-nya ialah Allah sendiri mau berbagi kehidupan dengan para murid. Dan berbagi asal dan tujuan kehidupan inilah jalan keselamatan bagi manusia.

Bila asal dan akhir itu Allah sendiri, tentunya yang di maksud ialah Allah sumber terang, sumber kehidupan. Utusannya itu datang ke dunia yang masih berada dalam ancaman kuasa gelap untuk membawa kembali orang-orang yang dekat padanya kembali ke sumber terang, kepada Allah, ke sumber kehidupan sendiri. Itulah “sangkan paran” yang diungkapkan di dalam perjamuan ini.


Berbekal Teladan
Pada kesempatan itu Yesus juga mengatakan bahwa pembasuhan kaki itu disampaikan sebagai teladan bagi para murid, agar mereka berbuat seperti itu satu sama lain (ay. 15). Teladan ini kemudian menjadi bekal kehidupan orang-orang yang percaya bahwa Yesus itu datang dari Allah dan pulang kepadaNya setelah berhasil memperkenalkan siapa Allah itu sesungguhnya.

Boleh dikatakan saat itulah lahir kumpulan orang yang hidup berbekal sikap Yesus yang menganggap sesama sedemikian berharga sehingga pantas dilayani dan dihormati. Inilah Gereja dalam ujudnya yang paling rohani, paling spiritual. Dalam arti inilah Gereja berbagi “sangkan paran” dengan Yesus sendiri. Hidup meng-Gereja yang berpusat pada ekaristi baru bisa utuh bila dijalani dengan bekal yang diberikan Yesus tadi. Hanya dengan cara itu Gereja akan tetap memiliki integritas. Memang masih berada di dunia, masih berada dalam kancah pergulatan dengan kekuatan-kekuatan gelap, tetapi arahnya jelas, ke asal dan tujuan tadi: ke Sumber Terang sendiri bersama dengan dia yang diutus olehNya.

Karena itu tak perlu heran bila para murid – dan Gereja – tidak semuanya bersih. Yesus berkata dalam ay. 11 “Tidak semua kamu bersih.” Kata-kata itu bukan mencela melainkan mengakui kenyataan bahwa ada kekuatan-kekuatan gelap. Nanti pada saat ia kembali kepada Allah, kekuatan ilahi akan tampil dengan kebesarannya dan saat itu jelas kekuatan-kekuatan gelap tidak lagi menguasai meskipun tetap dapat menyakitkan. Penderitaan ini tidak akan memporakperandakan kumpulan orang-orang yang percaya kepadanya. Malah menguatkan harapan


Taat dan Menurut Perintah
Bagaimana mungkin kita bisa menurut Allah yang tidak kelihatan, bila kita tidak bisa menurut perintah manusia yang kelihatan. Kita harus belajar menaati setiap perintah yang diberikan kepada kita juga dari seorang mudapun.  Ketika Tuhan mengutus Musa ke Mesir untuk membebaskan bangsa Israil, Musa menolak dan berkata, “Tuhan, aku tidak pandai berkata-kata”. Sebenarnya bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah bahwa Musa tidak mau menurut. Karena itu Tuhan berkata, “Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta. Bukankah Aku, yaitu Tuhan? Oleh sebab itu pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang sudah harus kau katakan”. (Kel. 4: 11-12).

Kita seringkali bersikap seperti Musa senang berdalih-dalih dengan Tuhan untuk menolak pelayanan. Ah, aku tiada pandai khotbah, tidak bisa menyanyi, tidak bisa pimpin puji-pujian. Namun sebenarnya Tuhan bisa memakai siapa saja baik pandai ataupun bodoh. Alkitab berkata bahwa Allah memakai orang yang bodoh untuk mempermalukan yang pintar. Orang yang mana? Jadi kita dipakai bukan karena kemampuan kita, tapi karena kemauan. Kemauan merupakan modal utama di mata Allah dan itulah yang berhasil.

Dalam mengarungi bahtera kehidupan ini setiap detik, setiap menit, setiap jam kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Tak bisa dipungkiri, dalam kondisi ini kita pasti menghadapi dilema apakah kita memilih untuk hidup menurut kehendak sendiri atau menuruti kehendak Tuhan. Namun sebagai anak-anak Tuhan ketaatan adalah jalan yang sangat tepat untuk kita pilih: seperti seorang anak yang harus taat kepada kehendak orangtuanya, seperti karyawan yang sepatutnya taat kepada pimpinan, dan juga seperti prajurit yang sepenuhnya taat kepada perintah komandannya. Terlebih lagi kita sebagai anak-anak Tuhan kita harus memiliki ketaatan penuh kepada kehendak Tuhan.

Taat adalah sikap patuh dan menurut terhadap sesuatu yang diajarkan atau diperintahkan, seseorang yang taat pasti sangat disukai oleh orang yang memberikan perintah atau ajaran, karena dengan ketaatannya ia menunjukkan bukan hanya kepatuhannya namun juga kerendahan hati dan kasih.

Hidup dalam ketaatan bukanlah hal yang mudah, seseorang kadang perlu berjuang keras untuk dapat bertahan dalam ketaatan. Karena itu Tuhan Yesus menjanjikan penghibur kepada murid-muridNya. Penghibur yaitu Roh Kudus akan diutus Bapa dalam nama Yesus, untuk mengajar dan mengingatkan akan segala yang diajarkan Yesus. Roh kudus itulah yang akan memampukan para murid untuk hidup taat dan setia untuk menyampaikan pengajaran Yesus kepada banyak orang.

Kasih Dalam Melayani
Dalam ajaran Kristiani, melayani berarti memposisikan diri lebih rendah dari yang dilayani, untuk itulah perlu kerendahan hati  tidak peduli apakah orang yang kita layani memberi keuntungan kepada kita atau tidak , justru melayani itu perlu pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, perasaan dan materi. Yesus berkata, "Sama seperti Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" Dalam paradigma Yesus, pelayanan sama sekali tidak merendahkan martabat, sebaliknya justru di situlah kehormatan seseorg itu terletak.

Kasih akan membuat kita melayani dengan inisiatif, kreatif, dan bertanggung jawab. Tanpa kasih, pelayanan kita bisa hanya sekedar ucapan bibir, bukan tindakan nyata, karena kita tidak berani menanggung risiko dalam pelayanan. Tanpa kasih, pelayanan bisa menjadi formalitas yang tidak menyentuh hati orang yang kita layani. Misalnya, ada banyak orang dalam gereja yang mengulurkan tangan untuk memberi salam tanpa memandang orang yang diberi salam, sehingga salam tidak terasa sebagai ungkapan persaudaraan, bahkan terasa sebagai penghinaan. Tanpa kasih, kita akan mudah meninggalkan suatu pelayanan bila ada tawaran lain yang kita anggap lebih menguntungkan. Hanya bila pelayanan kita dilandasi oleh kasih, kita akan berusaha untuk mengembangkan diri dan mencari cara untuk bisa melayani dengan lebih baik.

0 comments:

Grab this Widget ~ Blogger Accessories